Tiap 210 hari sekali bertepatan dengan Buda Kliwon Dungulan, umat Hindu di Bali merayakan Galungan. Hari suci untuk memperingati kemenangan dharma melawan a dharma. Hari yang dirayakan dengan penuh sukacita selama seminggu sebelumnya sampai 2 minggu sesudahnya.
Pada puncak galungan setiap kampung di Bali dijajari penjor, bambu dengan hiasan janur dengan perangkat yang indah di kanan kiri jalan. Ibu-ibu berkebaya dan berkain songket mengusung banten gebogan menuju pura. Berlangsung sampai tengah hari, mereka mendatangi pura keluarga, kahyangan tiga dan pura sad kahyangan.
“Umat Hindu melakukannya dengan penuh keyakinan karena pada hari itu seluruh dewata dan dewati turun untuk turut merayakan kemenangan dharma yang nantinya diharapkan bisa memberikan kesejahtraan dan kebijaksanaan bagi masa depan yang lebih baik,” ujar Nyoman Sarya, sesepuh desa adat di Ubud Bali.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa perayaan Galungan itu dimaksudkan untuk mensyukuri berkah yang melimpah yang diberikan kepada umat manusia. Mereka mewujudkannya dalam bentuk banten, penjor dan atribut lainnya yang disebutkan sebagai persemahan tulus kepada sang pencipta.
Dalam mitologi disebutkan perayaan galungan adalah tonggak dimulainya kembali rasa syukur karena umat Hindu terbebas dari kekuasaan raja Maya Danawa yang berkuasa dengan kejam dan serakah.
Sang raja melarang umat untuk melakukan persembahyangan, mereka disarankan untuk menyembah sang raja durjana. Sampai suatu ketika seluruh umat manusia ditimpa sakit hingga turun sabda untuk melenyapkan sang raja durjana. Hari ketika umat terbebas dari kungkungan raja durjana itulah yang diperingati sebagai Galungan tiap 6 bulan sekali.
Selain membuat penjor dan banten, seluruh umat Hindu mulai dari yang paling kecil sampai yang tua datang ke pura-pura yang ada di setiap kampung. Mereka mengenakan pakaian bagus lengkap dengn destar dan kampuh yang merupakan pakaian adat utama bagi umat Hindu.
Di setiap pura, tempat pemujaan mereka melakukan persembahyangan yang dipimpin oleh pemangku atau pendeta setempat. Persembahyangan berlangsung sepanjang hari, mulai dari pagi sampai tengah malam. Hari itu Bali bertaburan warna warni bunga dan harum semerbak dupa dari seluruh penjuru angin.
Suasana merayakan kemenangan itu sangat terasa di Ubud, ketika sejak pagi buta seluruh isi kampung tumpah ruah ke jalan-jalan dengan membawa nampan yang berisi sesajen yang dibuat selama berhari hari lamanya.
“Kami mempersiapkannya dengan penuh ketulusan, karena datangnya galungan berarti datangnya dharma yang sesungguhanya di dalam sanubari kami,” tutur Nyoman Sarya yang merupakan tokoh yang dituakan di desa Ubud Bali.
Dan itu tak berakhir sampai persembahyangan di pura-pura acara masih dilanjutkan dengan kunjungan kepada kerabat dan warga satu kampung. Mereka melakukan yang namanya simakrama atau saling memaafkan diantara warga desa. Ada hidangan khas berupa tape dan uli ketan saat menerima kedatangan tamu saat galungan, yang maksudnya agar persahabatan mereka tambah manis dan tambah melekat sesuai dengan wujud kedua jenis jajan itu.
Bagi anak anak ingusan atau bocah yang belum akil balig, mereka juga melakukan kegiatan yang mereka nantikan dengan riang gembira. Namanya mengarak barong ngelawang. Barongnya terbuat dari sangkar ayam yang diberi hiasan topeng. Pengiringnya berupa gamelan kendang dan kempur yang ditabuh alakadarnya. Mereka mendatangi setiap rumah untuk menarikan tarian barong dengan riang hati. Pemilik rumah akan memberikan sekedar uang lelah untuk anak anak ini. Perkembangan berikutnya barong ngelawang tak hanya bias kita jumpai saat hari Galungan dia juga dilombakan untuk peringatan proklamasi kemerdekaan seperti yang terjadi di Payangan Gianyar.
Pada puncak galungan setiap kampung di Bali dijajari penjor, bambu dengan hiasan janur dengan perangkat yang indah di kanan kiri jalan. Ibu-ibu berkebaya dan berkain songket mengusung banten gebogan menuju pura. Berlangsung sampai tengah hari, mereka mendatangi pura keluarga, kahyangan tiga dan pura sad kahyangan.
“Umat Hindu melakukannya dengan penuh keyakinan karena pada hari itu seluruh dewata dan dewati turun untuk turut merayakan kemenangan dharma yang nantinya diharapkan bisa memberikan kesejahtraan dan kebijaksanaan bagi masa depan yang lebih baik,” ujar Nyoman Sarya, sesepuh desa adat di Ubud Bali.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa perayaan Galungan itu dimaksudkan untuk mensyukuri berkah yang melimpah yang diberikan kepada umat manusia. Mereka mewujudkannya dalam bentuk banten, penjor dan atribut lainnya yang disebutkan sebagai persemahan tulus kepada sang pencipta.
Dalam mitologi disebutkan perayaan galungan adalah tonggak dimulainya kembali rasa syukur karena umat Hindu terbebas dari kekuasaan raja Maya Danawa yang berkuasa dengan kejam dan serakah.
Sang raja melarang umat untuk melakukan persembahyangan, mereka disarankan untuk menyembah sang raja durjana. Sampai suatu ketika seluruh umat manusia ditimpa sakit hingga turun sabda untuk melenyapkan sang raja durjana. Hari ketika umat terbebas dari kungkungan raja durjana itulah yang diperingati sebagai Galungan tiap 6 bulan sekali.
Selain membuat penjor dan banten, seluruh umat Hindu mulai dari yang paling kecil sampai yang tua datang ke pura-pura yang ada di setiap kampung. Mereka mengenakan pakaian bagus lengkap dengn destar dan kampuh yang merupakan pakaian adat utama bagi umat Hindu.
Di setiap pura, tempat pemujaan mereka melakukan persembahyangan yang dipimpin oleh pemangku atau pendeta setempat. Persembahyangan berlangsung sepanjang hari, mulai dari pagi sampai tengah malam. Hari itu Bali bertaburan warna warni bunga dan harum semerbak dupa dari seluruh penjuru angin.
Suasana merayakan kemenangan itu sangat terasa di Ubud, ketika sejak pagi buta seluruh isi kampung tumpah ruah ke jalan-jalan dengan membawa nampan yang berisi sesajen yang dibuat selama berhari hari lamanya.
“Kami mempersiapkannya dengan penuh ketulusan, karena datangnya galungan berarti datangnya dharma yang sesungguhanya di dalam sanubari kami,” tutur Nyoman Sarya yang merupakan tokoh yang dituakan di desa Ubud Bali.
Dan itu tak berakhir sampai persembahyangan di pura-pura acara masih dilanjutkan dengan kunjungan kepada kerabat dan warga satu kampung. Mereka melakukan yang namanya simakrama atau saling memaafkan diantara warga desa. Ada hidangan khas berupa tape dan uli ketan saat menerima kedatangan tamu saat galungan, yang maksudnya agar persahabatan mereka tambah manis dan tambah melekat sesuai dengan wujud kedua jenis jajan itu.
Bagi anak anak ingusan atau bocah yang belum akil balig, mereka juga melakukan kegiatan yang mereka nantikan dengan riang gembira. Namanya mengarak barong ngelawang. Barongnya terbuat dari sangkar ayam yang diberi hiasan topeng. Pengiringnya berupa gamelan kendang dan kempur yang ditabuh alakadarnya. Mereka mendatangi setiap rumah untuk menarikan tarian barong dengan riang hati. Pemilik rumah akan memberikan sekedar uang lelah untuk anak anak ini. Perkembangan berikutnya barong ngelawang tak hanya bias kita jumpai saat hari Galungan dia juga dilombakan untuk peringatan proklamasi kemerdekaan seperti yang terjadi di Payangan Gianyar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar