Pada hari Purnama-Tilem misalnya, banyak sekali umat Hindu baik tua maupun muda melakukan persembahyangan. Bahkan pada hari perayaan tertentu umat harus antre ber jam-jam untuk mendapat giliran melakukan persembahyangan. Hari Piodalan Pura Aditya Jaya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali, jatuh pada hari Sabtu bertepatan dengan Hari Saraswati. Pura yang ditata sangat apik ini dikelola oleh sebuah badan otorita yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengembangannya.
Disisi jaba luar pura terdapat Warung yang menjual makanan dan segala perlengkapan upacara, bahkan buku-buku agama Hindu sangat banyak ragamnya disini. Masakan khas Bali menjadikan tempat ini untuk bernostalgia dengan citra rasa dan aroma yang bernuasa Bali seolah-olah anda berada di Bali. Warung ini dibuka setiap hari, walaupun menunya tidak selengkap pada hari Sabtu dan Minggu atau pada hari-hari raya tertentu.
Proses berdirinya Pura Adhitya Jaya Rawamangun, tidak dapat dilepas kan dari sejarah perjuangan hidup umat Hindu di DKI Jakarta. Betapa tidak. Sebab ide untuk membangun tempat persembahyangan umat Hindu di DKI Jakarta sudah lama dirintis oleh Suka Duka Hindu Bali (SDHB), yang kemudian diganti menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD) atas saran Bapak Dirjen Bimas Hindu dan Budha I. B. Mastra.
Awalnya, kiprah dari Suka Duka Hindu Dharma baru terbatas pada perayaan hari-hari suci keagamaan, seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan. Kian hari cita-cita untuk pendirian Pura tersebut mulai dipertegas dengan mendirikan Yayasan yang khusus untuk maksud pembangunan Pura. Yayasan itu bernama Yayasan Pitha Maha. Pengurus Yayasan tersebut antara lain Bapak Ida Bagus Manuaba (almarhum) anggota Dewan Konstituante, Bapak I Gusti Bagus Subania (almarhum) yang merjabat Menteri Koordinator, Bapak I Nyoman Wiratha (almarhum) yang menjadi anggota DPRD DKI. Yayasan ini mendapat bantuan dana secara rutin.
Pada tahun 1960-an, Presiden Soekarno memberikan tanah di lapangan Banteng kepada umat Hindu untuk tempat ibadah. Entah bagaimana pokok masalahnya, rencana mendirikan Pura di lapangan Banteng itu gagal. Tahun 1962, ditawarkan lokasi baru yakni di daerah Ancol. Namun umat Hindu keberatan, sebab lokasi Ancol saat itu berlumpur, tidak seperti Ancol sekarang ini. Kemudian ditawarkan lokasi baru lagi yakni sekitar Yakindra (Taman Ria Remaja Senayan sekarang), namun upaya pembangunannya belum juga berhasil.
Titik terang kemudian mulai muncul. Yakni ketika, Bapak Menteri PU Ir. Sutarni (almarhum) menerbitkan surat No.36/ KPTS/ 1976 yang isi pokoknya antara, lain:
Memberi ijin kepada Parisada, Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk menggunakan tanah yang dikuasai oleh Dep. PU cq. Ditjen Bina Marga (yakni tempat Pura Adhitya Jaya sekarang) sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu di Jakarta dan sekitarya.
Penggunaan tanah sesuai dengan aturan Tata Kota DKI Jaya.
Keputusan ini berlaku sebagai pengetahuan atas penggunaan tanah tersebut yang telah dibuat oleh Dirjen Bina Marga, berlaku sejak tanggal 4 Maret 1972.
Pemberian ijin oleh Bapak Menteri PU tersebut didukung oleh Bapak Gubernur KDKI Jakarta (waktu itu) Ali Sadikin, selaku penguasa tunggal di daerah. Dukungan tersebut dimuat dalam Surat Keputusan No.D.TV-a2/4/24/73.
Atas dasar sumber-sumber di atas, maka mulailah umat Hindu merintis pembangunan phisik Pura Adhitya Jaya Rawamangun, yang dalam kenyataannya berbarengan dengan pembangunan Pura Dalem Pura Jati Cilincing di Jakarta Utara; Pura Candra Praba Jelambar di Jakarta Barat, Pura Raditya Dharma Cijantung di Jakarta Timur.
PROSES BERDIRINYA PURA
Proses pendirian Pura Adhitya, Jaya Rawamangun diawali oleh cetusan ide dari Bapak I Gusti Ngurah Mandra kepada Bapak Menteni PU Ir. Sutarni pada acara penyerahan Masjid Pelita Taqwa dari Menteri PU kepada Bapak Walikota Madya Cirebon, yang dilaksanakan sekitar Tahun 1973.
Atas petunjuk dari Bapak Menteri, maka dibentuklah Panitia Pembangunan Pura (yang kemudian disebut Pura Adhitya Jaya Rawamangun), yang susunan personalianya sebagai berikut:
Ketua Umum: I Gusti Ngurah Mandra
Ketua I: I Nyoman Gria
Ketua II: I Gusti Ketut Sukarta
Sekretaris I Drs. Sang Made Jingga
Sekretaris II A.A. Sumitra
Bendahara I Ir. Ketut Berana
Bendaliara II I Wayan Armiatha
Setelah Panitia terbentuk, maka Panitia mengajukan pemohonan kepada Pemimpin Proyek. Pemimpin Proyek kemudian menunjuk dan mengesahkan Panitia tersebut untuk melaksanakan pembangunan Pura yang dimaksud.
Sebelum pembangunan tersebut, Panitia mengadakan rapat membahas keabsahan surat tanah. Yang hadir dalam rapat adalah Ida Pedanda Gde Wayan Sidemen (almarhum), A.A. Oka Jelantik, S.H., Drs. Nengah Kembar, dan semua anggota Panitia.
Rapat menyetujui peletakan batu pertama pembangunan Pura yang dilaksanakan oleh Bapak Drs. Moh. Hadi (almarhum) mewakili Pimpinan Proyek.
Sejak saat itu dilakukan pembangunan yang pengedaannya dilakukan oleh tukang dari Bali, yang pendanaannya didukung oleh para donatur.
Sudah tentu phisik pembangunan dimulai dengan membuat Padmasana disusul dengan Bale Papelik, Pengelurah, Pawedan Tanian Sari, Penyengker, dan sebagainya. Pada tanggal 12 Mei 1973 diadakan peresmian oleh Wakil Gebemur KDKI Jakarta, Ir. Prayogo dan Ngenteg Linggih dipuput oleh Ida Pedanda Gde Wayan Sidemen.
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PURA
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan Pura Adhitya Jaya Rawamangun dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan sarana pendukung (dana) yang ada. Jika dilihat dari bangunan phisik yang berhasil diwujudkan dalam pembangunan tersebut, maka pentahapan tersebut dapat diklasifikasikan atas tujuh tahapan yaitu:
Tahap Pertama dimulai tahun 1972, yang berhasil dibangun adalah Padmasana, Griya Pedanda (belum permanen), Penglurah, Wantilan di Jaba Tengah namun dalam wujud sederhana berupa, bedeng.
Tahap Kedua dilanjutkan lagi pada tahun 1976, dengan membangun Kuri Agung, Penyengker Jeroan dengan tembok sederhana, Renovasi Wantilan di Jaba Tengah, Taman Sari dalam wujud sederhana.
Tahap Ketiga dilanjutkan tahun 1985, dengan memulai pembangunan wantilan besar di Jaba, walau belum selesai pada tahun itu.
Tahap Keempat dimulai talun 1988. Yang berhasil dibangun adalah Wantilan Besar (melanjutkan pembangunan tahun 1985), Bale Kulkul, Candi Bentar di sebelah Bale Kulkul, Griya Pedanda (permanen), Bale Bengong di sebelah Griya Pedanda.
Tahap Kelima dilanjutkan tahun 1995, dengan membangun Wantilan permanen di Jaba Tengah, Ruang Pasraman/Kuliah (di sebelah wantilan besar di Jabaan).
Tahap Keenam adalah tahun 1996 dengan membuat jalan aspal, Candi Bentar di Jaba Sisi (menghadap kejalan by pass), Candi Bentar di belakang (di ujung Jalan Daksinapati Raya), Renovasi Penyengker Mandala Utama (Jeroan).
Tahap Ketujuh tahun 1997 dengan membangun Penyengker di Jaba Sisi yang menghadap ke jalan by pass.
Demikianlah pentahapan pembangunan Pura Adhitya Jaya Rawamangun.
PENGEMPON
Yang dimaksud dengan pengempon Pura dalam hal ini adalah kelompok umat yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, terselenggaranya upacara dan seluruh kebutuhan Pura.
Perlu diketahui bahwa pengempon Pura Adhitya Jaya Rawamangun sebelum tahun 1996 berbeda dengan pengempon setelah tahun 1996. Sebelum tahun 1996, umat Hindu yang berdomisili di Jakarta Pusat masih ikut ngempon Pura Adhitya Jaya. Setelah tahun 1996, di mana Banjar Jakarta Pusat sudah memiliki tanggung jawab untuk ngempon Pura Tanah Abang maka pengempon Pura Adhitya Jaya dilaksanakan sendiri oleh Banjar Jakarta Timur.
Banjar Jakarta Pusat sendiri ada 5 (lima) tempek yaitu Tempek Cempaka Putih, Tempek Rawasari, Tempek Salemba, Tempek Kemayoran, Tempek Tanah Abang. Sedangkan Banjar Jakarta Timur terdiri dari 9 (sembilan) tempek yaitu Tempek Cipinang, Tempek Utan Kayu, Tempek Rawamangun, Tempek Kelapa Gading, Tempek Kelender, Tempek Pulogadung, Tempek Pondok Bambu, Tempek Jatiwaringin, Tempek Kampung Ambon.
Dalam penanganan kebutuhan baik untuk pembangunan, maupun penyelenggaraan PuJawali atau yang lainnya, maka tempek pengempon yang bersangkutan mencari dana punia di lingkungan pengempon dan juga di lingkungan masyarakat Hindu di luar pengempon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar